lu·put

Untuk kesekian kali nya, ada rasa yang tak bisa ku artikan dalam kata. Mengikuti jalan pikiran yang tak tahu akan kemana. Isolasi diri, menjadi pelarian ku. Bukan karena penyakit menular, tapi sedikit demi sedikit memangkas waktu untuk tidak banyak bersosialisasi dengan siapa pun. Either, orang terdekat.

Entah, apa yang ada di pikiran ku untuk memilih isolasi diri (?). Bingung harus bagaimana (?).

Entah, apa penyebab nya.

Waktu demi waktu, ku coba mencari sebab. Bertanya pada diri sendiri:



  1. Apa yang kamu rasakan sekarang? Sedih atau bahagia? Kenapa?
  2. Sudah makan? 
  3. Apa yang sedang kamu pikirkan?
Jujur, rasa sedih sering sekali datang. 

Sedih yang paling lama adalah ketika aku harus melepas kan seseorang yang amat aku sayangi bertahun-tahun. Seseorang yang ku terima kesalahan-kesalahannya. Seseorang yang membuat ku merasa bahagia. Sampai pada akhirnya di rundung rasa keraguan dan membuat ku tak berdaya. Berkali-kali pergi-kembali-pergi-kembali, hingga suatu hari kembali untuk mengajakku ke jenjang serius. Namun semesta tidak mendukungku. Sontak dan meragukan, jika aku meng-iya-kan. Pada akhirnya, aku memutuskan untuk tidak lanjut. Tidak perlu alasan yang berbelit, hanya keraguan jawabannya.

Rasa sedih lainnya, bermula dari rasa benci ku dengan perkataan seseorang yang amat dekat (bukan amat dekat lagi, bahkan keluarga). Ternyata betul, lisan seseorang bisa membuat hati seseorang terluka amat dalam. Ya, aku sakit hati dan tidak bisa berbuat apa-apa selain diam. Sakit nya bukan main. Bahkan, sakit nya bisa aku rasakan pada fisik ku. Dada ku sakit. Rasanya ingin berteriak dan menangis sekencang-kencangnya. Realitanya, ku pendam dan beranggapan "semua akan baik-baik saja". Dari kejadian itu, otak ku berpikir, 'bahwa menjadi orangtua itu tidak mudah'.

Sedih, karena keraguan ku nanti di masa depan. Memang di depan sana itu penuh ketidakpastian. Seharusnya aku bisa menerima itu semua. Tapi itu lah rasa sedih ku, yang masih susah menerima. Kalau kata orang-orang, "kurang bersyukur". Apa benar? Berkali-kali aku bertanya pada diri sendiri, sudah kah kamu bersyukur?

Sedih, karena aku tidak seaktif dulu. Masa yang menerutuku "ini adalah masa kejayaanku"  adalah pada saat aku menginjak kampus dan awal mula bekerja di sebuah kantor penerbit. Masa kuliah ku, adalah masa yang paling sangat indah. Dimana aku hidup sendirian di kota orang (tapi rasanya seperti di negeri orang). Di paksa untuk hidup mandiri. Tapi ternyata masa-masa itu lah aku survive dan menikmati hidup. Aktif belajar dan bersosiolisasi. Maklum, dulu aku hidup di negeri orang bertahun-tahun dan tidak tahu menahu akan kehidupan di negara sendiri. Lingkungan yang kecil, orang nya itu-itu saja. Seperti di kehidupan fairy tale (segala enak dan happy). 360 derajat berbeda ketika aku pindah ke negeri sendiri untuk menimba ilmu (jenjang perguruan tinggi). Aktif belajar; ya, sungguh aku mencoba belajar serajin mungkin. Karena persaingan disini sangat lah berbeda. Saingan ku tidak 6 atau 7 orang, bahkan puluhan manusia. Dengan usaha ku aktif belajar, alhamdulillah hasil nya pun sesuai. Lulus dengan IPK yang sangat memuaskan, menjadi kebanggaan ku saat itu. Aktif bersosialisasi; aku berteman dengan macam-macam karakter sampai berbeda agama. Mengikuti aktifitas kampus, seperti olahraga (volly) dan seni (menari). Dari situ, aku banyak bertemu teman-teman baru. Rela latihan sampai malam, rela ikut rapat malam. Semua kegiatan ku maksimalkan sebisa mungkin.

Setelah ku cari-cari kesedihan apa lagi yang ku rasa, ternyata membuat ku untuk berpikir lebih keras dan melelahkan. Ternyata, setelah satu persatu ku tuangkan itu semua dalam tulisan ada rasa lega. Dan, seiring berjalan nya waktu, itu semua akan luput. Biarkan menjadi bayang-bayang masa lalu. Biarkan saja. Mereka akan luput.


Comments

Popular Posts